”Nu maot diurus nu hirup ditalantarkeun.” Kata-kata dalam bahasa Sunda,
yang artinya: yang mati diurus tapi yang hidup ditelantarkan, itu kerap
didengar para arkeolog dan peneliti beberapa tahun belakangan ini saat terlibat
dalam pelestarian kawasan Karst Citatah, Bandung Barat.
Namun, hal itu tidak menyurutkan niat mereka untuk terus bergelut dengan
sesuatu yang mereka yakini. Ada kehidupan yang hilang di Karst Citatah.
Lewat penggalian terus-menerus, Balai Arkeologi (Balar) Bandung kembali
menemukan apa yang mereka cari. Mereka menemukan ribuan alat dari batu obsidian
dan tulang mamalia dalam lapisan tanah dengan rentang kronologi 5.600-9.500
tahun lalu. Alat-alat itu diduga digunakan manusia prasejarah di sana untuk
kegiatan sehari-hari. Alat itu berupa pisau, bor, penyerut, bahkan mata tombak.
Juga ditemukan perhiasan dari taring binatang, kulit kerang, dan gigi ikan hiu.
Petugas Balai Arkeologi Bandung dibantu masyarakat dan Balai Kepurbakalaan,
Sejarah, dan Nilai Tradisional melakukan penggalian di Goa Pawon, Padalarang,
Jawa Barat, Rabu (25/8). Pada penggalian 23 Agustus-2 September ditemukan
berbagai peralatan manusia prasejarah.
”Semua digunakan manusia prasejarah Goa Pawon karena tahun asalnya sama,”
ujar arkeolog Balar Bandung Lutfi Yondri, yang ditemui saat penggalian dasar
Goa Pawon di tahun 2010, akhir Agustus lalu.
Penelitian ini merupakan rangkaian aktivitas penelitian arkeologi sejak
tahun 2003. Setelah tim Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB) menggali dan
menemukan beberapa benda dari gerabah, obsidian, dan tulang binatang di Goa
Pawon tahun 2000, Balar Bandung lalu menindaklanjutinya tiga tahun kemudian dan
menemukan temuan lebih besar.
Mereka menemukan sisa rangka manusia yang lalu disebut dengan inisial R
(Rangka)—dengan nomor urut berdasar urutan penemuan. Rangka R1 hanya terdiri
dari atap tengkorak, rahang bawah, rahang atas yang diwarnai dengan hematid
(pewarna merah) di kedalaman 80 cm. Ada juga R2— tulang tengkorak belakang.
Penggalian tahun 2004, tim Balar Bandung gembira bukan kepalang karena
menemukan R3—rangka manusia dalam posisi terlipat (flexed) di kedalaman 143 cm.
Dilihat dari posisi melipat, itu adalah pemakaman kuno. Walau saat ditemukan
kondisinya sudah sangat rapuh, penemuan itu hingga kini adalah yang terbesar di
Jabar. Di lapisan bawah dari temuan R3, ditemukan R4 tapi tidak seutuh R3.
Rangka ini terdiri dari bagian tengkorak, dan tulang-tulang bagian badan, serta
lengan-yang amat rapuh.
Sempat kosong setahun, di tempat yang sama tim mengembangkan penggalian,
membuka kotak-kotak ekskavasi baru. Hasilnya, ditemukan tulang tungkai, rahang
atas dan bawah—R5. Lutfi mengatakan, penggalian terbaru menguatkan fakta dari
penemuan sebelumnya di Jabar atau daerah lain di Pulau Jawa, yaitu soal pola
migrasi manusia prasejarah.
Temuan itu membuktikan manusia prasejarah pernah tinggal di Jawa Barat.
Sebelumnya para ahli menarik jalur garis migrasi dari Asia ke Pulau Jawa
langsung ke Jawa Tengah.
Ketika dicocokkan dengan kebiasaan manusia prasejarah di beberapa karst di
Jawa Timur dan Jawa Tengah, terlihat ada kemiripan. Penguburan manusia terlipat
juga ditemukan di Song Keplek di Pacitan, Jawa Timur (usia: 5.900 tahun lalu);
Song Gentong di Tulungagung, Jawa Timur (8.760 tahun lalu); Song Terus di
Pacitan, Jawa Timur (9.200 tahun lalu); dan Goa Braholo di Gunung Kidul,
Yogyakarta (9.780 tahun lalu).
Dari orientasi arah penguburan, manusia prasejarah di Song Gentong memiliki
pola sama. Kedua kuburan mengarah ke barat laut tenggara. Proses pewarnaan
dengan hematid juga dilakukan pada temuan di Song Keplek. Besar kemungkinan
mereka memiliki garis keturunan sama yang terus menjauh dari tempat asalnya
karena kebutuhan perburuan hewan. Mereka berpindah seiring migrasi hewan buruan.
Fakta lain, manusia prasejarah Pawon gemar menjelajahi daerah yang jauh
dari tempat tinggalnya. Contohnya, penemuan batu obsidian hanya ada di sekitar
Nagreg, Kabupaten Garut, dan di sekitar Subang. Jarak antara Nagreg dan Goa
Pawon sekitar 30 kilometer. Dengan penemuan itu, bisa dipastikan bahwa manusia
prasejarah Pawon melakukan perjalanan panjang mencari batu obsidian.
Pada penemuan gigi hiu dan kerang, 5.600-9.500 tahun lalu diperkirakan laut
terdekat dengan Goa Pawon ada di Pantai Subang-sekitar 40 km dari Goa Pawon.
Menarik diteliti bahwa mereka memiliki sistem navigasi atau penanda tertentu
agar mereka bisa pulang.
”Bukan tidak mungkin, manusia prasejarah di Jatim dan Jateng awalnya adalah
bagian dari manusia prasejarah Jabar yang memiliki pola migrasi untuk bertahan
hidup,” ujarnya.
Dengan penemuan itu, Lutfi semakin bersemangat menggali di sekitar Goa
Pawon untuk melihat kemungkinan adanya bekas kegiatan yang sama atau lebih tua.
Ia yakin ada semacam permukiman di Jabar, setidaknya ditemukan kerangka manusia
prasejarah lain. Sasarannya adalah goa kapur di sekitar Pawon. Data mahasiswa
pencinta alam Ganesha ITB menyatakan, tidak kurang 50 goa kapur ada di
pegunungan Rajamandala.
Salah satu bukti adalah temuan serpihan tulang manusia di Goa Tanjung—sekitar
300 meter dari Goa Pawon—tahun 2009. Setelah penelitian lanjutan, ditemukan 7-8
fragmen tulang kaki manusia, panjang 20-30 cm. Usia tulang diperkirakan sama
dengan usia manusia Pawon.
Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Tony Djubiantono mengatakan,
penelitian lanjutan bisa menjadi aktivitas penting mengungkap perkembangan
manusia prasejarah di Indonesia. Ia menyambut baik niat Balar Bandung terus
meneliti untuk mengungkap misteri manusia prasejarah di Indonesia. Namun, usaha
itu tidak akan mudah mendapat hasil. Mereka harus adu cepat dengan perusakan
dan eksploitasi kawasan kapur. Geolog Institut Teknologi Bandung Budi
Brahmantyo mengatakan, mayoritas goa-goa kapur di Karst Citatah terancam rusak
akibat penambangan. Lemahnya peraturan hukum turut memengaruhi.
”Aturan seperti UU No 24 Tahun 1992 tentang Perlindungan Kawasan Karst, UU
No 5 Tahun 1992 tentang Cagar Budaya, dan niat Pemerintah Kabupaten Bandung
Barat untuk melindungi Karst Citatah tidak terlihat kekuatannya,” ujar koordinator
KRCB ini.
Ketua Masyarakat Geografi Indonesia T Bachtiar mengatakan, setidaknya
beberapa goa kapur di kawasan Karst Citatah dalam kondisi kritis. Goa itu ada
di Pasir Bancana, Pasir Masigit, dan Gunung Hawu.
Goa di Pasir Bancana adalah goa buntu berbentuk vertikal dan horizontal.
Saat ini goa itu rusak di sisi timur, barat, dan utara. Goa di Pasir Masigit
adalah goa vertikal, dan kini rusak di sisi timur, utara, dan selatan. Juga goa
vertikal dan horizontal di Gunung Hawu yang kini rusak di sisi timur. Bachtiar
mengatakan, bila rusak dan hancur tentu sangat merugikan masyarakat Jabar di
berbagai bidang. Ini merupakan bukti minimnya penjagaan tempat bersejarah,
hilangnya aspek pendidikan dan potensi wisata. Ia menerangkan, minimnya
penjagaan terhadap empat goa itu pasti berpengaruh pada usulan Jabar yang ingin
Goa Pawon menjadi warisan dunia UNESCO.
”Padahal, apabila bisa
dimanfaatkan dengan baik, potensi wisata dari kematian manusia prasejarah dan
lokasi tempat tinggalnya bisa membuat warga di sekitarnya sejahtera. Bukan lagi
anggapan hanya memikirkan yang sudah mati. Hal itu sudah dipraktikkan di negara
maju seperti Jepang, Belanda, dan Perancis,” ujar Bachtiar.***
oleh: Cornelius Helmy
Manusia Prasejarah di Karst Citatah (KOMPAS, Sabtu, 23 Oktober 2010 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar