Pada 5 Maret lalu, gerakan kiri internasional merayakan hari
ulang tahun salah satu kader terbaiknya sepanjang sejarah, Rosa
Luxemburg. Banyak sudah tulisan yang memahat nama agung perempuan ini,
seorang pemimpin partai revolusioner Jerman (SPD); jurnalis dan penulis
tersohor, sekaligus pemikir Marxis terkemuka. Biografer Karl Marx
terkemuka Franz Mehring menulis, tanpa keraguan Rosa adalah seorang
pemikir terbaik setelah Marx. Tak hanya di Jerman, namanya abadi pula
dalam perjuangan revolusioner di Polandia dan Rusia. Sebarisan
karya-karya besarnya menjadi bagian dari penggerak perubahan sejarah.
Seumur hidupnya, dengan sepenuh-penuh jiwanya, ia teguh berjuang demi
tegaknya sosialisme.
Tapi di atas segalanya, ujar Tony Cliff, Rosa memiliki tempatnya yang
khusus dalam sejarah. Ketika reformisme sukses mendegradasikan gerakan
sosialis dengan mengajukan tuntutan ‘negara kesejahteraan/welfare
state,’ Rosa adalah orang pertama dan paling efektif dalam menyerang
virus-virus reformisme yang tengah mengguncang Eropa saat itu. Betul
bahwa Lenin, Trotsky, Bukharin, dan lainnya juga melakukan perlawanan
terhadap reformisme, tetapi mereka tidak berhadap-hadapan secara muka
demi muka dengan reformisme. Rosa lah yang kebagian momentum historis
ini. Di Rusia, misalnya, reformisme masih dalam tahapan awal
perkembangannya, gerakannya masih lemah, sementara di Eropa Barat dan
Tengah reformisme sudah begitu kuat dan berakar dalam, yang pengaruhnya
di kalangan buruh sangat luas. Dan argumentasi-argumentasi reformisme
ini hanya bisa dihadapi oleh seseorang dengan kualitas yang superior,
dan kata Cliff, di situlah Rosa menunjukkan keistimewaannya. Secara
metaforik, Cliff menulis, ‘Di negeri-negeri itu, pisau bedah analisis
Rosa jauh lebih dahsyat pengaruhnya ketimbang palunya Lenin.’
Tetapi, kehidupan perempuan yang sanggup berdiri tegak menjulang di
antara barisan para raksasa pemikir sosial demokratik yang didominasi
laki-laki itu harus berakhir tragis. Setahun setelah revolusi Bolshevik
yang dengan gemilang meledak di Rusia, rezim fasis Hitler menamatkan
riwayatnya. Tengah malam, di bulan Januari 1919, setelah menjalani
perburuan panjang, beserta Wilhelm Pieck dan Karl Liebknecht, —
kawan-kawannya– ia ditangkap tentara Jerman. Dalam perjalanan ke
penjara, mereka disiksa habis-habisan. Batok kepala Luxemburg dihantam
dengan popor senjata, remuk. Belum selesai di situ, kepala perempuan
yang sarat pikiran-pikiran radikal ini dihujani berpuluh-puluh peluru.
Mayatnya lantas dilempar ke sungai. Leo Jogiches, kawan karib
sekaligus kekasihnya, terus mencari-cari hingga akhirnya ia sendiri
tertangkap dan dibunuh tentara Jerman, sebelum berhasil menemukan mayat
Luxemburg. Baru pada bulan Mei, mayat Luxemburg ditemukan mengapung,
tersangkut di tiang pancang jembatan, di sebuah sungai di pinggiran kota
Berlin.
Rosa Luxemburg
Remuk, dan sudah membusuk. Toh, orang masih mengenali Rosa Luxemburg,
masih mengenali sebelah kakinya yang cacat. Surat-surat indah, artikel,
polemik yang ditulis pada kawan-kawannya, pada Leo Jochiches yang
sering dipanggilnya ‘Julek,’ adalah jejak-jejak berharga yang
tertinggal sampai abad ini. Dia dikebumikan pada Juni di Friedrichsfeld,
berdampingan dengan kekasihnya. Juga bersamanya, dimakamkan jasad para
revolusioner lainnya.
Keturunan Yahudi Yang Tersisih
Lahir pada 5 Maret 1871 di Zamôć, sebuah kota kecil di tenggara
negara Polandia. Kelahirannya tepat beberapa hari sebelum kaum buruh di
Paris mendeklarasikan Komune Paris, bentuk pertama pemerintahan sejati
rakyat. Dia bungsu dari lima bersaudara dari keluarga kelas menengah
keturunan Yahudi, yang mengenal makna tersingkir dan tertindas sejak
belia. Penulis biografi Rosa, Paul Frölich menulis bahwa rumah
keluarganya merupakan salah satu oase kultural di kota itu.
Pada usia dua tahun keluarga mereka pindah ke ibukota, Warsawa. Di
situ pula awal mulanya Luxemburg mengidap penyakit serius. Tulang-tulang
tubuhnya tak tumbuh sempurna. Kakinya cacat. Dari tempat tidurnya ia
belajar membaca. Sampai akhirnya Luxemburg kecil terlihat menonjol
kecerdasannya. Seiring itu pula, jiwa pembebasnya yang terbentuk
semenjak belia makin kokoh terbangun. Hasilnya, saat ia tamat sekolah
dasar menjadi lulusan terbaik, namun dewan guru menolak memberikan
penghargaan tersebut karena dinilai “terlalu suka menentang pihak yang
berwenang”.
Menatap Luxemburg secara fisik, alangkah jauh dari gambaran keperkasaan pahlawan besar.
Tubuhnya teramat kurus dan cenderung tidak proporsional, ukuran
lengannya terlalu pendek.Tulang panggulnya tak rata, sehingga ia harus
berjalan dengan kaki timpang. Toh, ia memiliki pesona tersendiri; binar
matanya amat tajam, terpancar energi dan keyakinan luar biasa. Itulah
yang mampu menundukkan orang.
Tumbuh dengan jiwa pembebas, dengan semangat benci terhadap
kezaliman, jelas bukan datang dari langit. Keluarganya lah yang
mati-matian berjuang sebagai warga Yahudi yang tersisih, yang ikut
membentuk keyakinannya. Ayahnya seorang terpelajar, memiliki pabrik
kayu, yang memperkenalkannya dengan literatur politik. Ia mulai belajar
tentang demokrasi modern. Sedang, sang ibu mewarisinya dengan kebijakan
manusia. Seperti yang ditulisnya pada kawannya, Sophie Leibknect,
Luxemburg mengatakan, ibundanya yang menganjurkan dirinya untuk membaca
Injil sebagai sumber kebijakan manusia.
Luxemburg tertarik dengan politik sejak di sekolah menengah, ia
bergabung dalam pergerakan revolusioner bawah tanah, dan menjadi anggota
salah satu sel Partai Proletariat, yang bersekutu dengan kelompok
Narodnik (populis) di Rusia. Dua tahun sesudahnya ia mulai dicari-cari
petugas, terancam ditangkap. Untuk menghindar dari pemerintahan otoriter
Alexander III, ia lari ke Swiss, pada tahun 1889.
Di sana ia belajar di Universitas Zurich, di bidang ilmu alam,
ekonomi dan hukum. Ia ikut pula dalam perjuangan kelas pekerja, aktif
dalam kehidupan politik para imigran dari Polandia dan Rusia. Kota
Zurich itu sendiri merupakan kiblat bagi kaum kiri untuk belajar,
seperti dua orang Marxis termasyur dari Rusia, Plekhanov dan Akselrod.
Rosa sempat belajar Marxisme, ikut perdebatan-perdebatan dan menjadi
seorang teoretisi Marxis terkemuka. Di sana ia mematangkan Marxismenya.
Ia meyakini dirinya sebagai bagian dari kelas proletar. Dia yakin, hanya
sosialisme lah yang dapat memberikan kemerdekaan sejati dan keadilan
sosial. Marxisme bukanlah hanya sebuah sistem teoritis untuk mengatasi
semua persoalan, lebih daripada itu, dia merupakan metode menguji proses
perubahan ekonomi pada masing-masing tahapan dari perkembangan sejarah
beserta semua hasil dari kepentingan, gagasan, tujuan dan aktivitas
politik masing-masing kelompok dalam masyarakat.
Luxemburg berhasil meraih gelar doktor dalam ilmu politik dengan
menulis karya ilmiah tentang perkembangan kapitalisme di Polandia.
Sebuah gelar yang dianggap sebagai di luar kelaziman, lantaran pada
waktu itu belum pernah ada perempuan yang sampai tingkat doktor.
1892, adalah titik awalnya secara total berserah diri dalam politik.
Luxemburg mendirikan Partai Sosialis Polandia, namun beberapa waktu
kemudian dia berselisih dengan para pimpinan Partai tersebut, yang
dianggapnya terlalu berkompromi dengan nasionalisme borjuis.
Selanjutnya pada tahun 1893, bersama-sama dengan Leo Jogiches ia
mendirikan Partai Sosial Demokrat, yang bersifat lebih revolusioner.
Masih sebagai organisasi bawah tanah, Luxemburg pergi ke Paris dan
bekerja sebagai editor koran partai Sprawa Robotnicza. Selain sebagai
penulis, ia lebih menyukai posisinya sebagai orator, sedangkan Leo lebih
berkonsentrasi pada kerja-kerja organisasi. Dia menjadi seorang tokoh
penting dalam Partai Sosial-Demokrat Jerman tanpa meninggalkan
peranannya sebagai seorang pemimpin gerakan revolusioner Polandia.
Rosa mendapat kewarganegaraan Jerman tahun 1898 setelah menikah
dengan Gustav Lubeck, seorang pimpinan sayap kiri SPD. Ia berpartisipasi
pada Internasional Kedua dan pada revolusi 1905 di Rusia bergabung
dengan partai Sosial Demokrat.
Seorang Petarung Sejati
Rosa Luxemburg adalah sang petarung sejati. Seorang visioner yang
mempunyai pikiran jauh ke depan. Tak pernah gentar berhadapan dengan
para pengritiknya, berdebat dengan sesama orang revolusioner, dan tidak
jarang berbeda pendapat dengan Lenin, karena keadaan di Rusia amat
berlainan dengan kondisi di Jerman waktu itu, sehingga kaum Bolshevik
mengembangkan strategi dan taktik yang berbeda pula.
Ia selalu melawan unsur-unsur nasionalis dalam gerakan kiri Polandia.
Waktu itu sebagian dari wilayah Polanda dikuasai oleh Rusia. Pada
dasarnya, Lenin setuju bahwa semua nasionalisme harus dilawan. Namun,
Lenin melihat masalah itu dari sudut pandang seorang warga Rusia, yaitu
seorang warga dari bangsa penindas, dan dia berusaha menyadarkan kaum
buruh Rusia yang mesti menjamin hak rakyat Polandia untuk merdeka. Hanya
dengan menjamin hak ini kaum buruh Rusia bisa ikut membantu dalam
mengatasi nasionalisme di Polandia, karena nasionalisme muncul sebagai
akibat dari penindasan yang dilakukan oleh administrasi Rusia.
Rosa menganggap sikap Lenin ini sebagai kompromi dengan nasionalisme.
Perdebatannya kompleks, karena sebetulnya Luxemburg juga ingin menjamin
hak tersebut untuk sejumlah bangsa tertindas lainnya. Pada dasarnya
pendekatan Lenin harus dinilai lebih benar karena lebih dialektis. Dia
menyimak perjuangan nasional dan perjuangan kelas dari dua sisi: ‘Kami
orang Rusia harus menekankan hak rakyat Polandia untuk merdeka,
sedangkan kawan-kawan Polandia harus menekankan hak mereka untuk bersatu
dengan kami.’
Luxemburg juga mengecam sepak terjang kaum Bolshevik setelah mereka
mengambil alih kekuasaan. Kritik ini, dalam sebuah naskah yang ditemukan
setelah dia meninggal dunia, terkadang disalahartikan. Rosa dengan
antusias mendukung revolusi Oktober yang dipimpin oleh Partai Bolshevik:
‘Pemberontakan Oktober tidak hanya menyelamatkan Revolusi Rusia
dalam kenyataan, tetapi juga menyelamatkan nama baik gerakan sosialis
internasional … masa depan kita di mana-mana diperjuangkan oleh kaum
Bolshevik.’
Kritiknya yang ketiga menyangkut soal demokrasi. Sebelum Oktober,
kaum Bolshevik menuntut agar majelis konstituante (yang mewakili rakyat
dengan cara parlementaris borjuis) mesti dipanggil. Setelah insureksi
Oktober, ketika soviet-soviet (dewan-dewan utusan buruh, tentara dan
petani) mengambil alih kekuasaan, pihak Bolshevik tidak lagi mendukung
majelis konstituante yang didominasi oleh pihak reformis dan borjuis
itu.
Ketika majelis itu akhirnya berkumpul, malah dibubarkan oleh kaum
Bolshevik. Menurut Luxemburg tindakan ini tidak demokratik. Tapi yang
harus dimengerti di sini adalah perbedaan antara demokrasi borjuis dan
demokrasi buruh (sosialis). Dalam prinsip, soviet-soviet adalah lebih
unggul karena berdasarkan kaum buruh yang memilih wakil-wakil mereka di
tempat kerja.Dalam kenyataan, soviet-soviet merupakan kekuasaan kelas
buruh, sedangkan majelis konstituante dikuasai oleh pihak
kontrarevolusi. Jika kaum Bolshevik mau mempertahankan kekuasaan kelas
buruh, mau tidak mau majelis konstituante harus dibubarkan.
Cukup jelas, bahwa salah satu kesalahan terbesar Rosa adalah
ketidakbersediaannya untuk membangun sebuah partai tipe Bolshevik
beberapa tahun terlebih dahulu. Namun, kita tidak boleh membandingkan
Lenin dan Rosa begitu saja. Lenin mengembangkan sebuah partai tipe baru
karena harus menghadapi kondisi baru di Rusia. Sebelum tahun 1914 dia
tidak pernah menuntut agar Rosa keluar dari Partai Sosial Demokrat
Jerman. Malah Lenin lebih percaya pada para pimpinan partai itu. Baru
ketika Perang Dunia meledak, dan para pimpinan sosial demokrat
mengkianati kelas buruh dengan mendukung perang tersebut, Lenin akhirnya
mengakui: ‘Rosa Luxemburg terbukti benar: sudah jauh-jauh hari dia sadar bahwa Kautsky adalah seorang teoretisi oportunis.’
Pada tahun 1905, revolusi Rusia yang pertama meledak. Di sini,
pemogokan massa menjadi motor revolusi, dan fenomena itu memberikan
pengertian baru yang mendalam untuk memahami hubungan erat antara
perjuangan ekonomi dan perjuangan politik. Para pimpinan sosial-demokrat
seperti Bernstein dan juga Karl Kautsky (yang waktu itu masih mengaku
sebagai seorang revolusioner) tidak setuju dengan pemogokan massa,
karena mereka menganggap aksi-aksi semacam itu kurang politis. Namun
Rosa menekankan bahwa di masa revolusi, perjuangan ekonomi berkembang
serta meluas menjadi perjuangan politik, dan sebaliknya: ‘Gerakan
semacam ini tidak hanya bergerak ke satu arah, dari sebuah perjuangan
ekonomi ke politik, tetapi juga dalam arah sebaliknya. Setiap aksi massa
politik yang penting, setelah mencapai puncak, menimbulkan sejumlah
pemogokan ekonomi massa. Dan prinsip ini bukan hanya relevan untuk
pemogokan massa secara terpisah, tetapi juga untuk revolusi secara
keseluruhan. Dengan perluasannya, klarifikasi dan intensifikasi
perjuangan politik, perjuangan ekonomi bukan hanya tidak surut, bahkan
sebaliknya berkembang luas sekaligus menjadi lebih terorganisir dan
lebih intensif. Ada pengaruh timbal-balik antara kedua macam perjuangan
itu.’
Setiap serangan dan kemenangan baru dalam perjuangan politik akan
berdampak secara dahsyat kepada perjuangan ekonomi, karena dengan
meluasnya cakrawala kaum buruh serta motivasi mereka untuk memperbaiki
kondisi mereka, pengalaman tersebut juga mempertinggi semangat tempur
mereka. Setiap selesai gelombang aksi politik, ada endapan subur, dari
situ akan muncul ribuan perjuangan ekonomi, dan sebaliknya.
Puncak pemogokan massa adalah ‘pemberontakan terbuka, yang hanya akan
terealisir sebagai titik kulminasi dari serangkaian pemberontakan lokal
yang mempersiapkan medan (yang hasilnya selama beberapa waktu mungkin
adalah kekalahan sementara, sehingga aksi tersebut mungkin tampaknya
‘gegabah’).’ Betapa hebatnya peningkatan kesadaran kelas yang dapat
dihasilkan oleh pemogokan-pemogokan massa ini: ‘Yang paling berharga
(karena paling abadi) dalam naik turunnya arus gelombang revolusi,
adalah perkembangan jiwa kaum proletar. Keuntungan yang didapat oleh
lompatan intelektual yang tinggi kaum proletar akan menjamin kemajuan
mereka secara terus menerus dalam perjuangan politik dan ekonomi yang
akan datang.’
Serangan yang gagal dari sayap kiri dari Partai Sosial Demokrat,
‘Liga Spartakus,’ di bawah kepemimpinan Rosa Luxemburg dan Karl
Liebknecht, telah menyeretnya ke penjara –Spartakus adalah seorang budak
yang memberontak pada zaman Romawi kuno; Liebknecht adalah satu-satunya
anggota parlemen Jerman yang melawan Perang Dunia I semenjak awal–, di
tahun 1916 sampai 1918.
Dari balik tembok penjara lah ia justru menemukan kekuatannya. Di
sini ia berjuang keras melewati masa-masa depresi, ia tak mengeluh
mengatakan berjuta penderitaannya. Selain menulis tentang Revolusi
Rusia, satu-satunya hal yang membahagiakan adalah bisa menulis surat
untuk Leo-nya, yang berselisih 15 tahun, yang kemudian dijatuhi hukuman
mati lantaran mengedarkan seruan mogok bagi para tentara dan buruh
pabrik senjata. Sebelum kematiannya, dia telah memutuskan dengan Clara
Zetkin dan Mathild Jacob untuk mempublikasikan tulisan-tulisan karya
Luxemburg. Hanya pada Leo lah ia nyatakan kepedihan hatinya: ‘Jika
saat ini, nyawaku mendahului pergi, aku tak sanggup lagi berkata-kata
sebagai ungkapan perpisahan, dan hanya bisa menerawang dengan tatap
kosong keputusasaan. Sejatinya, aku jarang sekali berkehendak untuk
bicara. Minggu-minggu berlalu tanpa mendengar suaraku sendiri.’
Surat-suratnya terus mengalir dari penjara. Luxemburg, seseorang yang
mempunyai kecintaan yang dalam pada kehidupan, dia juga meluangkan
waktu dengan merenungkan ‘burung-burung, hewan serta puisi.’
Tentang Perjuangan Perempuan
Kendati secara khusus jarang menulis tentang gerakan perempuan, namun
pemahaman Rosa terhadap gerakan perempuan sangat jelas. Baginya,
kebebasan perempuan adalah bagian dari pembebasan proletariat dari
penindasan kapitalisme. Ia tidak menolak perjuangan kesetaraan antara
perempuan dan laki-laki, bahkan ia menunjukkan fakta-fakta bahwa tanpa
dukungan perempuan proletariat maka Partai Sosial Demokrat (Social
Democratic Party) mungkin tak akan memperoleh kemenangan besar pada
pemilu 12 Januari 1912; perempuan proletariat adalah barisan paling
militan dalam aksi-aksi massa yang digelar oleh gerakan sosial demokrat;
dan lebih dari 100 ribu perempuan proletariat menjadi pelanggan dari
koran Die Gleichhet, koran perempuan Sosial Demokrat yang diedit oleh Clara Zetkin.
Bagi Rosa, tidak adanya hak pilih bagi perempuan proletariat, membuat
kelas-kelas berkuasa semakin mudah mengeksploitasi proletariat. Karena
itu, ‘hak pilih perempuan harus merupakan tujuan’ dari perjuangan partai. ‘Seorang perempuan, harus berani untuk terlibat dalam politik, sebuah wilayah yang hampir seluruhnya dikuasai oleh laki-laki,’ demikian ungkapnya. Dalam
sebuah pidato pada Rally Perempuan Sosial Demokratik Kedua, 12 Mei
1912, Luxemburg menyatakan bahwa hak memilih kaum perempuan adalah
sasaran yang tepat. Dia berpendapat bahwa ‘gerakan massa untuk
memperolehnya bukanlah (sekedar) tugas bagi perempuan dan laki-laki
dalam masyarakat proletariat. Lemahya hak-hak yang diberikan oleh
pemerintah Jerman adalah hanya salah satu rantai belenggu yang
menghalang-halangi kehidupan masyarakat. Lemahnya hak-hak pada kaum
perempuan menjadi alat yang paling penting dari klas kapitalis yang
berkuasa.’
Tetapi, di sini ia memberikan penekanan bahwa ‘gerakan massa yang
memperjuangkan hak pilih perempuan tersebut bukanlah merupakan isu
perempuan itu sendiri, tapi harus merupakan kesadaran bersama dari kelas
proletariat perempuan maupun laki-laki.’ Dengan sendirinya ia
menentang gerakan perempuan yang bersifat eksklusif, yang sekadar
menuntut reformasi-reformasi politik yang terbatas, atau memperjuangkan
isu-isu tertentu yang terpisah satu sama lainnya. Misalnya, ia menolak
tuntutan kaum perempuan yang hanya terbatas pada tuntutan kesetaraan
antara laki-laki dan perempuan, karena menurutnya, itu adalah
tuntutannya perempuan borjuis, bukan tuntutan perempuan proletariat.
Rosa mengatakan, kaum perempuan borjuis jika telah mendapatkan hak-hak
pilihnya setara dengan laki-laki, jika ia telah sanggup melangkahi ‘male prerogatives,’
maka mereka seringkali menjadi lebih konservatif dan reaksioner
ketimbang laki-laki. Bagi Rosa, ini bukan persoalan psikologis, tapi
karena posisi kelasnya sebagai co-consumer, karena hanya sedikit sekali
dari perempuan borjuis ini mengambil bagian dalam proses produksi
sosial. Dalam artikelnya berjudul Women’s Suffrage and Class Struggle, Rosa menuding perempuan borjuis ini sebagai ‘parasit
dari parasitnya sebuah bodi sosial dan sebagai co-consumer mereka lebih
fanatik dan kejam dalam mempertahankan “haknya” agar bisa hidup sebagai
parasit dibandingkan dengan agen langsung dari kelas berkuasa dan
penindas.’
Dari perspektif ini, tidak heran jika Rosa memberi tempat mulia bagi
perempuan proletariat, karena ia merupakan bagian tak terpisahkan dari
proses produksi sosial kapitalisme. Dalam proses produksi itu, perempuan
proletariat secara ekonomi keberadaannya adalah independen ketimbang
perempuan borjuis, karena ia melakukan kerja-kerja produktif sebagaimana
laki-laki proletariat. Tanpa adanya kerja produktif, maka kapitalis
tidak bisa meraup keuntungan dan pada akhirnya jatuh bangkrut. Seperti
kata Rosa, ‘sejauh kapitalisme dan sistem upah eksis, maka hanya
kerja produktiflah yang memproduksi nilai lebih, yang mana hal itu
kemudian menciptakan keuntungan bagi kapitalis.’
Dan karena secara ekonomi perempuan proletariat lebih independen,
jelas ia lebih peduli pada pentingnya kebebasan politik. Lagi pula,
perkembangan pesat ala-alat produksi dan hukum-hukum kerja kapitalis,
tuntutan akan hak pilih perempuan makin tak terelakkan. Tapi, di sinilah
poin penting Rosa dalam memberikan panduan bagi perjuangan politik
perempaun proletariat, dimana dalam perjuangan politiknya tuntutan utama
yang harus dimajukan bukanlah persoalan ketidakadilan (injustice). Bahkan Rosa dengan tegas mengatakan bahwa ketidakadilan bukanlah tuntutan kita. ‘Inilah
perbedaan mendasar kita dengan kalangan sosialisme utopis, serta kaum
sentimentalis awal. Kita tidak tergantung pada keadilan dari kelas
berkuasa, tetapi semata-mata pada kekuatan revolusioner dari massa
pekerja dan tentu saja pada perkembangan sosial yang kekuatannya terus
dipersiapkan secara konkret. Jadi ketidakadilan itu sendiri bukanlah
alasan buat kita untuk menjatuhkan lembaga-lembaga yang reaksioner.’
Dan karena itu, perjuangan politik perempuan, menurut Rosa, hanya
bagian perjuangan umum proletariat untuk pembebasan dirinya dari
eksploitasi kapital.
Dan sebagai seorang sosialis revolusioner, Rosa selalu setia pada
perjuangan yang berbasis massa. Ia menolak perjuangan perempuan yang
elitis, atau perjuangan aktivis perempuan yang disuarakan secara radikal
dari kampus-kampus. Baginya, perempuan proletariat harus melampuai
sekat-sekat bangunan pabrik, mereka harus mau bermuhibah ke
kantong-kantong perempuan miskin perkotaan, perempuan miskin pedesaan,
dan perempuan miskin dari ras dan etnis yang tertindas. Tanpa gerakan
massa, maka tidak akan ada gerakan revolusioner.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar