Info

Hari Bumi adalah hari pengamatan tentang bumi yang dicanangkan setiap tahun pada tanggal 22 April dan diperingati secara internasional.[1][2] Hari Bumi dirancang untuk meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap planet yang ditinggali manusia ini yaitubumi. Dicanangkan oleh Senator Amerika Serikat Gaylord Nelson pada tahun 1970 seorang pengajar lingkungan hidup. Tanggal ini bertepatan pada musim semi di Northern Hemisphere (belahan Bumi utara) dan musim gugur di belahan Bumi selatan. PBB sendiri merayakan hari Bumi pada 20 Maret sebuah tradisi yang dicanangkan aktivis perdamaian John McConnell pada tahun 1969, adalah hari dimana matahari tepat di atas khatulistiwa yang sering disebut Ekuinoks Maret.

Kini hari bumi diperingati di lebih dari 175 negara dan dikoordinasi secara global oleh Jaringan Hari Bumi (Earth Day Network).[3]

(Wikipedia)

Sabtu, 28 Juli 2012

Pengelolaan Kawasan Karst dan Prinsip Pembangunan Berkelanjutan


ABSTRAK


Upaya penting dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam karst yang membela kepentingan masyarakat adalah dengan merubah pola paradigma potensi karst sebagai bahan tambang saja,  peningkatan kesadaran akan pentingnya kawasan karst terhadap kebutuhan dasar manusia, pelaku aktif pembangunan adalah masyarakat, tata guna dan tata ruang kawasan karst yang dibangun berdasarkan pendekatan yang partisipatif, AMDAL multidisiplin ilmu dan multi sektoral yang harus menyertakan dana dan dokumen reklamasi lahan pasca penambangan yang rinci yang diatur oleh peraturan daerah.
Kata kunci : Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan, Karst


Pendahuluan


Pada tahun 1987 World Commision on Environment and Development (WCED) mengumumkan laporan yang berjudul Our Common Future (Hari Depan Kita Bersama). Tema inti Komisi Sedunia Lingkungan Hidup dan Pembangunan ini adalah pembangunan yang berkelanjutan yang didefinisikan sebagai pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan kita sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Pada dasarnya setiap pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam memperhatikan konsep pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Kawasan karst merupakan salah satu sumber daya alam non hayati yang tidak dapat diperbaharui karena proses pelarutan serta pembentukannya membutuhkan waktu ribuan tahun bahkan jutaan tahun. Secara umum bentang alam karst dapat dibedakan antara morfologi permukaan (eksokarst) dan morfologi bawah permukaan (endokarst). Morfologi permukaan antara lain kubah-kubah dengan berbagai bentuk, dolina, uvala, dan polje. Sedangkan morfologi bawah permukaan yang sering dijumpai adalah gua, saluran, terowongan, dan sungai bawah tanah.
Kawasan karst  di Nanggroe Aceh Darussalam yang telah teridentifikasi terbagi ke dalam berberapa bagian, yaitu kawasan karst pantai barat yang terbentang di sepanjang Lhok Nga, Lhoong dan Lamno. Kawasan karst tengah yang terdapat di Aceh Tengah, Kawasan Karst Laweung, Kawasan Karst Aceh Timur, serta Kawasan Karst Aceh Tenggara yang terbentang hingga wilayah Bahorok di Provinsi Sumatera Utara.
Tanpa menafikan upaya konservasi yang sudah dilaksanakan oleh lembaga pemerintah, NGO, maupun masyarakat Aceh secara mandiri, perlindungan terhadap kawasan karst adalah hal yang sangat mendesak untuk dilakukan. Di kalangan ahli lingkungan, kawasan karst merupakan kawasan yang sangat peka terhadap perubahan lingkungan. Hal ini disebabkan kawasan karst memiliki daya dukung yang rendah, dan sukar diperbaiki jika sudah terlanjur rusak. Di sisi lain, mempertahankan atau melestarikan fungsi kawasan karst dalam satu kesatuan eksosistem mempunyai pengertian tidak hanya melindungi, tetapi juga bagaimana memanfaatkan sumber daya yang ada di wilayah karst tetap lestari fungsi-fungsinya dalam kesatuan ekosistem.
Berdasarkan hal tersebut, perlu dibuat prinsip pengelolaan dan perlindungan kawasan karst mengingat sifat kawasan tersebut dan sangat rentan terhadap suatu kegiatan, seperti halnya penambangan semen. Upaya tersebut dimaksudkan untuk pemanfaatan sumber daya alam ini harus dilakukan secara terencana, rasional, optimal, bertanggung jawab dan sesuai dengan kemampuan daya dukungnya dengan mengutamakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat serta memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup serta dapat dinikmati secara trans generasi.
Diskusi


Perubahan Paradigma Nilai Kawasan Karst
International Workshop on Biodiversity and Cultural Property in The Management of Limestone Resources yang di danai oleh World Bank dan diselenggarakan oleh IUCN-The Worls Conservation Union, pada bulan Januari 1999 di Bangkok pada dasarnya dibuat oleh World Bank untuk mengetahui apakah semen yang digunakan dalam jumlah banyak untuk proyek infrastruktur di Asia Tenggara diproduksi dengan mematuhi World Bank’s Environmental Safeguard Policies.

Pertemuan penting ini juga difasilitasi oleh pabrik semen Tiger Brand dan Nghi Son Cement Company Vietnam. Dari kegiatan tersebut terungkap bahwa kawasan karst secara internasional sudah diakui memiliki aneka nilai dan fungsi. Tidak terbatas pada nilai tambang saja. Paradigma kawasan karst merupakan barang tambang saja sudah mulai berubah pada sisi investor, bertolak belakang sekali jika hal ini tidak dianut oleh pemegang kekuasaan di daerah kita. Diketahui pula, sampai tahun 1999 hal yang diperhatikan oleh semua pihak adalah dampak negatif debu dan suara bising pabrik semen. Mulai tahun 2000, paradigma ini sudah berubah. Tidak terbatas pada dampak negatif debu dan suara bising saja, tetapi ditambah lagi pada dampak negatif terhadap keanekaragaman hayati dan situs-situs kebudayaan.
Semua pihak, baik itu pemerintah, investor dan masyarakat di negara maju menyadari bahwa kawasan karst adalah sumber daya alam yang harus dikelola dengan pola yang jelas dan benar. Masyarakat negara maju menyadari bahwa lingkungan hidup bukan merupakan isu tersendiri, melainkan merupakan bagian integral dari pembangunan berkelanjutan. Berbeda dengan kondisi dan kenyataan bahwa pembangunan berkelanjutan di tempat kita yang masih bersifat retorika saja. Perubahan paradigma terhadap kawasan karst pada semua tingkat pelaku pembangunan (pemerintah, investor dan masyarakat) menjadi modal utama dalam prinsip pengelolaan sumber daya alam di kawasan karst.
Kawasan Karst dan Kebutuhan Dasar Manusia


Dengan kepadatan penduduk yang terus bergerak tinggi, terutama di perkotaan, kita tidak menyadari bahwa air mineral yang diperjualbelikan harganya lebih tinggi dari pada minyak tanah.  Pada musim kemarau, banyak sekali sumur, danau, bendungan, sungai dan sumber air yang mengering. Tidak satupun ilmuwan dan instansi yang menaruh perhatian terhadap kawasan karst yang merupakan sumber daya alam satu-satunya yang dapat mengatasi kekeringan dan kekurangan air bersih.
Kawasan karst yang tampak kering kerontang tidak disadari bahwa kekeringan hanya terbatas di atas permukaan karst. Di dalamnya senantiasa tersimpan cadangan air bersih berlimpah ruah, yang menunggu kearifan pemanfaatannya dengan teknik tepat guna. Air karst, yang tersimpan aman di bawah permukaan kawasan karst sebagai akuifer, ibarat tangki air alamiah. Bebas dari proses pemanasan global, yang menguapkan air permukaan yang umumnya mengakibatkan keringnya sungai, danau, sumur, bendungan dan sumber air non karst.
Dari delapan gua di kawasan Desa Naga Umbang Lhok Nga, terdapat lima gua penuh dengan air. Aliran air di daerah ini dicirikan dengan aliran air di bawah permukaan sebagai sungai bawah tanah. Air tanah ini berkualitas baik (kekeruhannya rendah) dan mengisi secara perlahan sungai bawah tanah dan tersimpan di dalam rongga-rongga batuan dan penampung alami di dalam gua kawasan tersebut sehingga alur aliran air tanah tetap terisi, tetap mengalir pada musim kemarau.
Gua-gua ini membentuk satu sistem perguaan dan percelahan yang apabila mendapat tekanan perubahan dari permukaan akan menyebabkan gua tersebut kering dan tidak berfungsi hidrologi lagi tentunya. Sudah sepatutnya nilai kawasan karst pada kebutuhan dasar manusia ini menjadi dasar pemikiran kebijakan pemerintah seperti dokumen AMDAL yang seharusnya dibuat dengan menjelaskan dan mencantumkan gua termasuk peta-peta gua dan klasifikasi kawasan karst berdasarkan Keputusan Menteri ESDM No.1456.K/ 20/ MPM/ 2000 ke dalam dokumen AMDAL yang ada.
Pembangunan Berkelanjutan dan Peran Aktif Masyarakat


Kesepakatan dunia yang dikenal sebagai Agenda 21 menggunakan empat pilar sebagai tolok ukur pembangunan berkelanjutan, keempat pilar tersebut adalah: Pro-lingkungan hidup (environmental friendly), Pro-rakyat miskin (poverty alleviation), Pro-perempuan (gender oriented), dan Pro-lapangan kerja (job creation).
Keempat pilar ini hanya dapat terlaksana bila ada partisipasi masyarakat dan penerapan demokrasi yang utuh. Dalam prakteknya harus ada kesepakatan antara pemerintah dengan masyarakat untuk mengimplementasikan pembangunan, kebijaksanaan atau peraturan tertentu. Jadi masyarakat bukan lagi menjadi obyek pembangunan, tetapi merupakan pelaku aktif (subyek) pembangunan itu sendiri. Masyarakat wajib diikutsertakan dan dilibatkan secara aktif-interaktif sejak tahap perencanaan hingga pengendalian agar memahami dan menghayati what, why, how, when dan where dari suatu kebijakan yang ada.
Dengan demikian diharapkan bahwa dampak yang terjadi akibat penentuan kebijakan eksploitasi karst yang hanya dibatasi oleh manfaat langsung tidak akan terjadi. Pilar pembangunan tersebut sebagai suatu tatanan yang mempertimbangkan manfaat langsung (direct benefit) dengan mempertimbangkan dampak lainnya terutama lingkungan yang pada umumnya terjadi pada jangka panjang.  Diharapkan dampak yang terjadi dikemudian hari seperti bencana alam, banjir dan longsor pada musim penghujan, dan kekeringan pada musim kemarau tidak akan terjadi. Berbagai bentuk kerugian ini merupakan biaya sosial yang pada akhirnya lebih besar dari manfaat langsung yang diperoleh dalam jangka waktu singkat. Dalam kajian ekonomi lingkungan kebijakan publik yang menciptakan biaya sosial sama sekali tidak ekonomis dan menyimpang dari kaidah pembangunan berkelanjutan.
Penataan Ruang dalam Pengelolaan Kawasan Karst


Di negara maju, pemanfaatan dan pengelolaan kawasan karst untuk pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan sudah terpola dengan baik dan jelas. Perwujudan dari pemikiran itu diimplementasikan ke dalam tata guna dan tata ruang kawasan karst yang dibangun berdasarkan pendekatan yang partisipatif.
Pemerintah mengikutsertakan masyarakat dalam merumuskan kebijakan pemanfaatan ruang dengan maksud untuk mengajak masyarakat sebagai pemilik tanah menyampaikan aspirasinya. Tidak dibenarkan pemerintah seakan-akan bertindak selaku satu-satunya perumus penetapan kebijakan, namun hendaknya kebijakan tersebut ditetapkan berdasarkan melalui ‘share vision’ antara pemerintah dan masyarakat.
Mengkaji kasus yang pernah terjadi di daerah lain seperti lahan masyarakat yang dijadikan bahan tambang untuk dibeli oleh investor dengan harga per m2, ini disesuaikan dengan kebiasaan jual beli lahan untuk pertanian, perkebunan dan perumahan. Masyarakat sebagai obyek kebijakan patokan harga tersebut merasa dirugikan. Sungguh menjadi tanda tanya mengapa mereka harus rela menjual lahan untuk dijadikan bahan tambang dengan harga jual menurut ukuran luas dan bukan menurut ukuran volume.
Perbedaan ini sangat berlipat ganda. Andaikan mereka menjual lahan per m2 dengan harga 10 ribu maka 1000m2 akan menghasilkan uang 10 juta. Sebaliknya bila lahan seluas ini digali sedalam 60 meter, maka jumlah bahan galian yang dihasilkan ialah 60 ribu m3.  Batu gamping dalam satu truk berkapasitas 3 m3 dapat dijual seharga 50 ribu, maka bahan galian sebanyak 60 ribu m3 dapat dimuat dalam 20 ribu truk. Hasil penjualan batu gamping sebanyak 20 ribu truk ialah 1 milyar. Suatu perbedaan yang luar biasa besarnya dimana masyarakat yang menjual lahan seharga 10 juta tetapi nilai lahan tersebut bila ditambang sebenarnya bernilai 1 milyar.
Dalam penataan ruang, maka upaya penataan ruang harus didekati secara sistemik tanpa dibatasi oleh batasan kewilayahan dan sektor. Oleh karena itu, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang mengedepankan empat prinsip pokok penataan ruang yaitu: holistik dan terpadu, keterpaduan penanganan secara lintas sektoral dan lintas wilayah, dan pelibatan peran serta masyarakat mulai dari perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang yang ada.
Pada tahap perencanaan masyarakat paling tahu apa yang mereka butuhkan, dengan demikian mengarahkan pada produk rencana tata ruang yang optimal dan proporsional untuk berbagai kegiatan, sehingga terhindar dari spekulasi dan distribusi alokasi ruang yang berlebihan untuk kegiatan tertentu. Pada tahap pemanfaatan masyarakat akan menjaga pendayagunaan ruang yang sesuai dengan peruntukan dan alokasi serta waktu yang direncanakan, sehingga terhindar dari konflik pemanfaatan ruang. Pada tahap pengendalian masyarakat merasa memiliki dan bertanggung jawab dalam menjaga kualitas ruang yang nyaman dan serasi serta berguna untuk kelanjutan pembangunan.
Rencana tata ruang sebelum ditetapkan, dipublikasikan terlebih dahulu untuk diminta tanggapan ataupun saran. Waktu yang disediakan untuk masyarakat berpartisipasi di Malaysia selama 30 hari, Singapura 14 hari, dan Australia 30 hari. Media pengumuman dan publikasi rencana tata ruang digunakan media televisi/ radio, surat kabar, brosur, dan press release. Kalau diperhatikan secara seksama, pelaksanaan peran serta masyarakat melibatkan unsur-unsur individu dan organisasi swadaya masyarakat dan dunia usaha, karena penataan ruang sudah merupakan kepedulian berbagai pihak yang terkait.
Pemerintah dituntut kerelaannya untuk berperan sebagai fasilitator dan melakukan pelayanan yang prima. Dengan demikian diharapkan akan tercipta pengelolaan ruang yang bercirikan good governance, dimana akan tercipta keseimbangan baru antara peran pemerintah dengan partisipasi aktif masyarakat.
AMDAL sebagai Instrumen Pengelolaan Kawasan Karst


Setelah konflik atau benturan kepentingan pemanfaatan kawasan karst ditanggulangi dengan tata guna dan tata ruang, maka setiap usaha eksploitatif kawasan karst sesuai persyaratan harus didahului oleh AMDAL. Baik pembuat rencana pembangunan, instansi yang menangani penanaman modal, dan ahli kajian AMDAL diharapkan jangan lebih melihat segi ekonomi atau retribusi untuk peningkatan pendapatan asli daerah saja.
Selama semua pihak masih memandang kawasan karst dari segi ekonomi dan sektoral, maka laju pengrusakan kawasan karst tidak akan terkendali. Sangat tidak diinginkan jika pemerintah daerah yang dipilih oleh masyarakatnya lebih mendambakan penghasilan jangka pendek, dan berhasil diiming-imingi oleh investor pertambangan berupa retribusi besar tanpa sedikitpun menyadari bahwa jenis pertambangan itu mempunyai jangka waktu eksploitasi. Dimana setelah bahan tambangnya habis, pemerintah daerah hanya mewarisi lingkungan alam yang gersang, porak poranda, masyarakat yang bertambah miskin dan penyakitan. Belum lagi akan hilangnya nilai-nilai ilmiah yang terdapat di kawasan tersebut yang tidak teridentifikasi dengan logis, etis, dan humanis dalam pembuatan AMDAL kawasan karst yang sepatutnya dilakukan oleh ahli multi disiplin ilmu dan multi sektoral, termasuk ahli hidrologi karst, speleologi dan karstologi.
Menurut Lembaga Karst Indonesia ada beberapa fase kehancuran dalam pemanfaatan kawasan karst yang lazim dipraktekkan oleh perusahaan penambangan di Indonesia dan fase-fase ini layak mendapat perhatian dan menjadi dasar pemikiran logis, empati pada penduduk kawasan karst dan menjadi pemikiran yang seimbang antara nilai pertambangan dan non pertambangan kawasan karst dari semua pihak ketika memberikan izin kepada investor berinvestasi dan dalam pembuatan AMDALnya.
Fase pertama: pembabatan vegetasi karst, mengakibatkan erosi, berkurangnya kesuburan tanah, dan debit sumber air karst. Fase kedua: penggalian batu gamping untuk dibakar menjadi kapur, dan digali untuk industri semen dengan akibat menyusutnya secara drastis debit sumber air karst, hilangnya keindahan dan keunikan lansekap karst, perubahan iklim setempat, kehilangan fungsi kelelawar sebagai penyerbuk buah-buahan (seperti durian) dan insektisida alami, berkurang dan hilangnya lahan pertanian, pengotoran lingkungan oleh debu dan asap yang meningkatkan penyakit saluran nafas. Fase ketiga: dalam waktu dekat sumber daya batu gamping hancur total atau habis menyisakan lahan rusak, gersang, tidak dapat ditanami, masyarakat kehilangan mata pencaharian, menyebabkan pemiskinan total warga setempat, dan pada akhirnya masyarakat perlu ditransmigrasi.
Reklamasi Kawasan Karst Pasca Penambangan


Harus diakui, bahwa rencana dan usaha reklamasi serta relandscapping lahan pasca tambang masih sangat kurang diperhatikan. Reklamasi dan relandscapping kawasan karst pasca tambang menghabiskan biaya yang sangat mahal dan perlu sentuhan ahlinya. Misalnya di Korea Selatan reklamasi lahan pasca tambang menghabiskan dana miliaran rupiah. Pasca penambangan, top soil dipastikan sudah lenyap, sehingga setiap usaha penanaman kembali kawasan karst pasca tambang dibutuhkan puluhan sampai ratusan ribu ton tanah subur, yang harus didatangkan dari lokasi lain untuk dilapiskan ke atas hamparan batu gamping yang tidak dapat ditumbuhi apa-apa. Itu sebabnya di negara maju, penanam modal untuk usaha pertambangan di kawasan karst wajib menyimpan uang deposit dalam jumlah sangat besar untuk menata kembali (relandscapping) kawasan karst pasca tambang. Deposit yang pernah dilakukan di Cina dan India senilai 1 juta US$ dan ditentukan oleh suatu Peraturan Daerah dan dokumen AMDAL yang rinci.
Bongkahan-bongkahan dan hamparan batu gamping pasca tambang dinyatakan sebagai tidak subur. Tidak masuk akal, bila ada konsultan melakukan pembenaran menggali bukit-bukit karst agar rata dengan dasarnya. Supaya dengan lebih mudah dapat ditanami oleh petani dan peladang. Lebih menggelikan lagi ialah pandangan konsultan bahwa lubang-lubang besar dan luas pasca tambang merupakan lokasi ideal untuk diisi air dan dijadikan danau karst, yang indah dipandang dan merupakan daya tarik wisata. Gagasan aneh ini belum pernah diajukan oleh ilmuwan atau konsultan luar negeri manapun.
Relandscapping tidak berarti usaha memulihkan ekosistem karst yang sudah rusak. Sekali rusak, ekosistem karst rusak untuk seterusnya. Relandscapping hanya merupakan usaha untuk mengubah kawasan yang porak poranda oleh pertambangan menjadi pemandangan yang cukup indah. Tetapi tidak mungkin bukit-bukit indah karst seperti misalnya di kawasan karst Citatah dibangun kembali. Bila sudah lenyap oleh pertambangan maka untuk seterusnya bukit-bukit panoramik itu akan lenyap. Dengan demikian, setiap AMDAL dan izin pertambangan di kawasan karst seharusnya dilengkapi disain relandscapping yang rinci dan tentunya memenuhi asas partisipasi masyarakat
Kesimpulan


Upaya penting dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam karst yang membela kepentingan masyarakat adalah dengan merubah pola paradigma potensi karst sebagai bahan tambang saja,  peningkatan kesadaran akan pentingnya kawasan karst terhadap kebutuhan dasar manusia, pelaku aktif pembangunan adalah masyarakat, tata guna dan tata ruang kawasan karst yang dibangun berdasarkan pendekatan yang partisipatif, AMDAL multidisiplin ilmu dan multi sektoral yang harus menyertakan dana dan dokumen reklamasi lahan pasca penambangan yang rinci yang diatur oleh peraturan daerah.
Daftar Pustaka
  1. Mustaruddin Etika Lingkungan Dalam Pengelolaan Sumber daya Alam. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Mei  2002.
  2. Direktur Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral. 2004. Makalah Kunci Workshop Nasional Pengelolaan Kawasan Karst. Wonogiri, 2-5 Agustus 2004.
  3. Biodiversity and cultural property in the management of limestone resources lessons from East Asia-The Worls bank USA-1999.
  4. Guideline for cave and Karst Protection-IUCN World Commision on Protected Areas 1997.
    Sixth Conference on Limestone Hydrology and Fissured Media
  5. Kazuko Uroshiba, 1995. Environmental Change In The Karst Areas on The Island of Java.
  6. Ko, RKT .2004. Introduksi Karstologi dan Speleologi Serta Permasalahannya Di Indonesia.
  7. Karst Aceh, 2007. Kawasan Karst Naga Umbang Lhok Nga Aceh Besar. Makalah dalam Rencana Strategis Konservasi Kawasan Karst Pantai Barat NAD. Tsunami and Disaster Mitigation Research Center-BRR NAD NIAS. Banda Aceh, 23-24 November 2007
  8. Tsunami and Disaster Mitigation Research Center, 2007. Potential Study of Karst Area Nanggroe Aceh Darussalam. Final Report, Syiah Kuala University, Darussalam Banda Aceh.
  9. Tarmizi and Nasution. 2007. Karst Area Potential Determinan Using GIS. Paper on IMT-GT University Sains of Malaysia (USM).
  10. Effendi Sumarja dalam Makalah Lokakarya Nasional Kawasan Karst 2004. Mapala Leuser Universitas Syiah Kuala. Banda aceh dan Aceh Besar 19-21 Juli 2004.
  11. Konsorsium Pengembangan Masyarakat Nusa Tenggara, 2003. Partisipasi, Pemberdayaan, dan Demokratisasi Komunitas. Studio Griya Media.
  12. Ko, RKT, 2006. Pemberdayaan Masyarakat Karst Gunung Sewu dan Gombong Selatan Secara Berkelanjutan dan Berwawasan Llingkungan. Lembaga Karst Indonesia.

Ditulis Oleh: Abdillah I  Nasution

Tidak ada komentar:

Posting Komentar