Isu tentang lingkungan hidup mulai menjadi wacana internasional ketika beredar ancaman global warming yang
berdampak cukup fatal bila tidak ditangani secara serius. Isu ini pada
awalnya berkembang dan beredar di negara-negara barat dahulu, yaitu
ketika mereka menyadari bahwa aktivitas sosial dan ekonomi manusia yang
ada dapat mengancam lingkungan hidup (Jackson dan Sorensen 2005).
Munculnya fakta mengenai lubang ozon, perubahan iklim dalam global
warming rupanya mencengangkan dan menyadarkan masyarakat dunia betapa
pentingnya masalah lingkungan ini. Pentingnya isu-isu kerusakan
lingkungan dalam merubah pola perilaku interaksi antar bangsa di dunia
rupanya memberi warna baru bagi dunia ini. Hubungan internasional kini
juga diwarnai oleh isu-isu lingkungan ini; sehingga muncul perspektif
baru yang mengedepankan isu-isu lingkungan dalam ilmu HI, selanjutnya
disebut sebagai Green Perspective. Meski terkesan sebagai perspektif
yang paling muda dalam disiplin HI (Matthew 2001 dalam Burchill, et al,
235) namun Green Theory telah memberikan berbagai pandangannya mengenai hubungan internasional dari perspektif mereka.
Teori Hijau (Green Theory)
muncul sebagai kekuatan politik yang signifikan sejak 1970an sampai
sekarang (Matthew 2001 dalam Burchill, 235). Filsuf yang berkontribusi
terhadap konsep-konsep lingkungan hidup adalah Rosseau dari Prancis dan
Henry David Thoreau dari Amerika. Mereka mulai menggencarkan aspek
lingkungan hidup pada masa enlightment, yang pada akhirnya
memunculkan istilah Green politics. Green politics sendiri bermakna
ideologi politis, yang sangat kental dengan nuansa ekologis, kelestarian
lingkungan hidup, dan demokrasi emansipatoris. Isu lingkungan mulai
dibahas dalam agenda hubungan internasional pada tahun 1970an dan
berasal dari pemikiran serta ide orang barat, mereka beranggapapan bahwa
aktivitas manusia sendirilah yang akan membuat kerugian bagi mereka
sendiri. Dalam mengatasi hal tersebut, dibentuklah rezim lingkungan
internasional yang ditandai dengan pelaksanaan Stockholm Conference pada tahun 1972 (www.forplid.net/index.php?option=com_content&task=view&id=215&Itemid=101
<online> diakses 18 Mei 2012). Namun, konferensi ini tidak
memiliki signifikansi yang besar dalam politik global karena negara blok
komunis melakukan boikot dalam pertemuan tersebut dan sedangkan negara
berkembang yang paling banyak menderita kerusakan lingkungan tidak
peduli dan terus menerus mengeksploitasi lingkungannya . Meskipun
demikian, konferensi ini menjadi awal dari kemunculan isu lingkungan di
panggung politik global. Konsep green politics mulai dibangun dalam
bentuk gerakan konservatif sejak lahirnya Sierra Club di San Fransisco,
tahun 1892. Klub tersebut menitikberatkan pada upaya-upaya konservasi
dan preservasi alam. Politik lingkungan juga tak terlepas dari gerakan
environementalis dari Jerman, ditandai dengan berdirinya German Green
Party (GGP) tahun 1980. (John Willey 1995). Tahun 1990an, buku-buku
yang paling berpengaruh terhadap perkembangan pemikiran green theory adalah buku-buku karangan Wolfgang Sachs, Pratap Chatterjee, Matthias Finger dan Vandana Shiva. Serta majalah-majalah seperti the Ecologist dan Third World Resurgence (Matthew 2001 dalam Burchill, et al, 238).
Di dalam buku Theories of International Relations, Matthew terlebih dahulu membedakan antara environmentalism dengan green theory. Secara luas, environmentalis menerima framework
dari keberadaan struktur politik, sosial, ekonomi dan normatif dari
politik dunia dan berusaha menyelaraskan isu lingkungan dengannya.
Berbeda dengan green theory yang menganggap struktur tersebut
sebagai alasan utama krisis lingkungan dan berpendapat bahwa struktur
ini haruslah mendapat tantangan. Dalam HI posisi environmentalis
tidaklah ada bedanya, mereka tetap menerima adanya negara dan struktur
politik yang ada, dan bahwa negara akan memberikan perhatian yang serius
terhadap isu lingkungan (Matthew, 2001 dalam Burchill, et al, 238).
Asumsi dasar dan tema utama dari green theory adalah, yang pertama, menolak anthropocentric atau human-centered,
dimana segala kebaikan alam hanya berpusat bagi manusia (Matthew, 2001
dalam Burchill, et al, 237) pandangan inilah yang membuat manusia
menjadi semena-mena dalam mengeksploitasi alam tanpa memikirkan makhluk
hidup lain selain manusia. Yang kedua , Matthew menyatakan bahwa
pertumbuhan penduduk membawa kerusakan lingkungan. Memang masuk akal,
ketika semakin banyak manusia yang meninggali dunia ini, maka semakin
banyak pula sumber daya alam yang dibutuhkan untuk memenuhi segala
kebutuhan manusia yang makin hari bertambah banyak. Konsekuensinya,
hutan banyak ditebangi untuk pemukiman penduduk, hewan banyak di buru
untuk kepentingan pangan, dsb. Yang ketiga adalah konsep
desentralisasi. Yang dimaksud disini adalah, bahwa green theory
menolak bentuk negara-negara seperti yang ada sekarang. Mereka lebih
memilih pada komunitas-komunitas local untuk menjaga lingkungan.
Sebenarnya kaum enviromentalis lebih menghendaki sebuah world governance
yang lebih peduli terhadap semua isu lingkungan di dunia, tidak hanya
terbatas pada isu-isu local/regional. Dengan komunitas lokal yang lebih
kecil daripada negara—yang tidak hanya struktur politik saja yang
berubah, namun ekonomi dan socialnya juga—menurut kelompok green theory tidak
akan dapat memberikan penjagaan, perawatan yang cukup besar terhadap
lingkungan. Konsep desentralisasi inilah yang paling mengena dalam
bahasan HI (Matthew 2001 dalam Burchill, et al, 238-246).
Green politics mempunyai dua konsep utamanya, yaitu: keberlanjutan ekologis (ecological sustainability) dan desentralisasi tata kelola lingkungan. Konsep ini merupakan alternatif bagi penyelesaian masalah lingkungan yang biasanya bertumpu pada konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan pembentukan rezim lingkungan internasional yang terbukti belum dapat menyelesaikan problem lingkungan dunia.
Green politics menolak enlightenment rationality,
karena tujuan utamanya bukan untuk mencerahkan relasi manusia dengan
lingkungannya. Penolakan Amerika terhadap ratifikasi Protokol Kyoto
adalah perbuatan rasional, namun hal tersebut hanya berdasar pada
kepentingan dan keuntungan industriawan, pendapatan, dan pekerjaan. Green politics
menawarkan konsep desentralisasi sebagai sebuah strategi implementasi
kontrol yang baik dalam mengatasi permasalahan lingkungan. Green politics meyakini bahwa dengan adanya implementasi kontrol level global akan dapat mengefektifkan pelaksanaan dalam scope yang lebih kecil (skala komunitas lokal) yang memiliki interdependensi langsung terhadap alam sekitar dalam kehidupan mereka.
Oleh karena kuatnya pengaruh dari komunitas epistemis macam Matthew, Pembahasan isu lingkungan pada level global kembali mencuat (ditandai dengan pelaksanaan Rio Conference
pada tahun 1992). Namun, secara implisit, yang diuntungkan dari
pengadaan konferensi ini adalah perusahaan multinasional yang menjadi
aktor dominan dalam menentukan konsepsi penyelesaian masalah lingkungan.
Padahal, perusahaan multinasionallah yang menjadi pelaku utama dalam
pengrusakan lingkungan hidup. Kemudian, digagas konsep sustainable development sebagai bentuk kompromi antara perwakilan grup perusahaan, delegasi negara dan aktivis lingkungan.
Selanjutnya, disusunlah Protokol Kyoto sebagai bentuk komitmen banyak
negara di dunia atas kepedulian penyelamatan lingkungan dunia.
Setelah peristiwa 9/11 terjadi, isu lingkungan menjadi termarjinalkan karena dunia internasional lebih concern terhadap isu security and peace yang kembali menjadi agenda politik global. [1]
Berbagai isu yang ada, seperti: isu keamanan di Irak, isu kepemilikan
nuklir Iran, dan terorisme menjadi diskursus dominan dalam kancah
politik global saat ini. Usaha penyelesaian masalah lingkungan hidup
akhirnya hanya menjadi lip service semata baik negara maju maupun negara berkembang, tanpa adanya realisasi nyata dalam mengatasi permasalahan ini
[1] Kemal Stamboel. 2009. Green Local Governance: Mewujudkan Tata Kelola Lingkungan Hidup yang Terdesentralisasi. Dalam www.kemalstamboel.com/blog.../green-local-governance-mewujudkan-tata-kelola-lingkungan-hidup-yang-terdesentralisasi.html akses tanggal 9 Juni 2009
Sumber Tulisan: http://krisna_indrawan-fisip11.web.unair.ac.id/artikel_detail-47510-Teori%20HI-Green%20Perspective.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar