Info

Hari Bumi adalah hari pengamatan tentang bumi yang dicanangkan setiap tahun pada tanggal 22 April dan diperingati secara internasional.[1][2] Hari Bumi dirancang untuk meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap planet yang ditinggali manusia ini yaitubumi. Dicanangkan oleh Senator Amerika Serikat Gaylord Nelson pada tahun 1970 seorang pengajar lingkungan hidup. Tanggal ini bertepatan pada musim semi di Northern Hemisphere (belahan Bumi utara) dan musim gugur di belahan Bumi selatan. PBB sendiri merayakan hari Bumi pada 20 Maret sebuah tradisi yang dicanangkan aktivis perdamaian John McConnell pada tahun 1969, adalah hari dimana matahari tepat di atas khatulistiwa yang sering disebut Ekuinoks Maret.

Kini hari bumi diperingati di lebih dari 175 negara dan dikoordinasi secara global oleh Jaringan Hari Bumi (Earth Day Network).[3]

(Wikipedia)

Senin, 13 Agustus 2012

Green Perspective


Isu tentang lingkungan hidup mulai menjadi wacana internasional ketika beredar ancaman global warming yang berdampak cukup fatal bila tidak ditangani secara serius. Isu ini pada awalnya berkembang dan beredar di negara-negara barat dahulu, yaitu ketika mereka menyadari bahwa aktivitas sosial dan ekonomi manusia yang ada dapat mengancam lingkungan hidup  (Jackson dan Sorensen 2005). Munculnya fakta mengenai lubang ozon, perubahan iklim dalam global warming rupanya mencengangkan dan menyadarkan masyarakat dunia betapa pentingnya masalah lingkungan ini. Pentingnya isu-isu kerusakan lingkungan dalam merubah pola perilaku interaksi antar bangsa di dunia rupanya memberi warna baru bagi dunia ini. Hubungan internasional kini juga diwarnai oleh isu-isu lingkungan ini; sehingga muncul perspektif baru yang mengedepankan isu-isu lingkungan dalam ilmu HI, selanjutnya disebut sebagai Green Perspective. Meski terkesan sebagai perspektif yang paling muda dalam disiplin HI (Matthew 2001 dalam Burchill, et al, 235) namun Green Theory telah memberikan berbagai pandangannya mengenai hubungan internasional dari perspektif mereka.


Teori Hijau (Green Theory) muncul sebagai kekuatan politik yang signifikan sejak 1970an sampai sekarang (Matthew 2001 dalam Burchill, 235). Filsuf yang berkontribusi terhadap konsep-konsep lingkungan hidup adalah Rosseau dari Prancis dan Henry David Thoreau dari Amerika. Mereka mulai menggencarkan aspek lingkungan hidup pada masa enlightment, yang pada akhirnya memunculkan istilah Green politics. Green politics sendiri bermakna ideologi politis, yang sangat kental dengan nuansa ekologis, kelestarian lingkungan hidup, dan demokrasi emansipatoris. Isu lingkungan mulai dibahas dalam agenda hubungan internasional pada tahun 1970an dan berasal dari pemikiran serta ide orang barat, mereka beranggapapan bahwa aktivitas manusia sendirilah yang akan membuat kerugian bagi mereka sendiri.  Dalam mengatasi hal tersebut, dibentuklah rezim lingkungan internasional yang ditandai dengan pelaksanaan Stockholm Conference pada tahun 1972 (www.forplid.net/index.php?option=com_content&task=view&id=215&Itemid=101 <online> diakses  18 Mei 2012). Namun, konferensi ini tidak memiliki signifikansi yang besar dalam politik global karena negara blok komunis melakukan boikot dalam pertemuan tersebut dan sedangkan negara berkembang yang paling banyak menderita kerusakan lingkungan tidak peduli dan terus menerus mengeksploitasi lingkungannya . Meskipun demikian, konferensi ini menjadi awal dari kemunculan isu lingkungan di panggung politik global. Konsep green politics mulai dibangun dalam bentuk gerakan konservatif sejak lahirnya Sierra Club di San Fransisco, tahun 1892. Klub tersebut menitikberatkan pada upaya-upaya konservasi dan preservasi alam. Politik lingkungan juga tak terlepas dari gerakan environementalis dari Jerman, ditandai dengan berdirinya German Green Party (GGP) tahun 1980. (John Willey  1995). Tahun 1990an, buku-buku yang paling berpengaruh terhadap perkembangan pemikiran green theory adalah buku-buku karangan Wolfgang Sachs, Pratap Chatterjee, Matthias Finger dan Vandana Shiva. Serta majalah-majalah seperti the Ecologist dan Third World Resurgence (Matthew  2001 dalam Burchill, et al, 238).

Di dalam  buku Theories of International Relations, Matthew terlebih dahulu membedakan antara environmentalism dengan green theory. Secara luas, environmentalis menerima framework dari keberadaan struktur politik, sosial, ekonomi dan normatif dari politik dunia dan berusaha menyelaraskan isu lingkungan dengannya. Berbeda dengan green theory yang menganggap struktur tersebut sebagai alasan utama krisis lingkungan dan berpendapat bahwa struktur ini haruslah mendapat tantangan.  Dalam HI posisi environmentalis tidaklah ada bedanya, mereka tetap menerima adanya negara dan struktur politik yang ada, dan bahwa negara akan memberikan perhatian yang serius terhadap isu lingkungan (Matthew, 2001 dalam Burchill, et al, 238).

Asumsi dasar dan tema utama dari green theory adalah, yang pertama, menolak anthropocentric atau human-centered, dimana segala kebaikan alam hanya berpusat bagi manusia (Matthew, 2001 dalam Burchill, et al, 237) pandangan inilah yang membuat manusia menjadi semena-mena dalam mengeksploitasi alam tanpa memikirkan makhluk hidup lain selain manusia. Yang kedua , Matthew menyatakan bahwa pertumbuhan penduduk membawa kerusakan lingkungan. Memang masuk akal, ketika semakin banyak manusia yang meninggali dunia ini, maka semakin banyak pula sumber daya alam yang dibutuhkan untuk memenuhi segala kebutuhan manusia yang makin hari bertambah banyak. Konsekuensinya, hutan banyak ditebangi untuk pemukiman penduduk, hewan banyak di buru untuk kepentingan pangan, dsb.    Yang ketiga adalah konsep desentralisasi. Yang dimaksud disini adalah, bahwa green theory menolak bentuk negara-negara seperti yang ada sekarang. Mereka lebih memilih pada komunitas-komunitas local untuk menjaga lingkungan. Sebenarnya kaum enviromentalis lebih menghendaki sebuah world governance yang lebih peduli terhadap semua isu lingkungan di dunia, tidak hanya terbatas pada isu-isu local/regional. Dengan komunitas lokal yang lebih kecil daripada negara—yang tidak hanya struktur politik saja yang berubah, namun ekonomi dan socialnya juga—menurut kelompok green theory tidak akan dapat memberikan penjagaan, perawatan yang cukup besar terhadap lingkungan. Konsep desentralisasi inilah yang paling mengena dalam bahasan HI (Matthew 2001 dalam Burchill, et al, 238-246).

Green politics mempunyai dua konsep utamanya, yaitu: keberlanjutan ekologis (ecological sustainability) dan desentralisasi tata kelola lingkungan. Konsep ini merupakan alternatif bagi penyelesaian masalah lingkungan yang biasanya bertumpu pada konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan pembentukan rezim lingkungan internasional yang terbukti belum dapat menyelesaikan problem lingkungan dunia.

Green politics menolak enlightenment rationality, karena tujuan utamanya bukan untuk mencerahkan relasi manusia dengan lingkungannya. Penolakan Amerika terhadap ratifikasi Protokol Kyoto adalah perbuatan rasional, namun hal tersebut hanya berdasar pada kepentingan dan keuntungan industriawan, pendapatan, dan pekerjaan. Green politics menawarkan konsep desentralisasi sebagai sebuah strategi implementasi kontrol yang baik dalam mengatasi permasalahan lingkungan. Green politics meyakini bahwa dengan adanya implementasi kontrol level global akan dapat mengefektifkan pelaksanaan dalam scope yang lebih kecil (skala komunitas lokal) yang memiliki interdependensi langsung terhadap alam sekitar dalam kehidupan mereka.

Oleh karena kuatnya pengaruh dari komunitas epistemis macam Matthew, Pembahasan isu lingkungan pada level global kembali mencuat (ditandai dengan pelaksanaan Rio Conference pada tahun 1992). Namun, secara implisit, yang diuntungkan dari pengadaan konferensi ini adalah perusahaan multinasional yang menjadi aktor dominan dalam menentukan konsepsi penyelesaian masalah lingkungan. Padahal, perusahaan multinasionallah yang menjadi pelaku utama dalam pengrusakan lingkungan hidup. Kemudian, digagas konsep sustainable development sebagai bentuk kompromi antara perwakilan grup perusahaan, delegasi negara dan aktivis lingkungan. Selanjutnya, disusunlah Protokol Kyoto sebagai bentuk komitmen banyak negara di dunia atas kepedulian penyelamatan lingkungan dunia.

Setelah peristiwa 9/11 terjadi, isu lingkungan menjadi termarjinalkan karena dunia internasional lebih concern terhadap isu security and peace yang kembali menjadi agenda politik global. [1] Berbagai isu yang ada, seperti: isu keamanan di Irak, isu kepemilikan nuklir Iran, dan terorisme menjadi diskursus dominan dalam kancah politik global saat ini. Usaha penyelesaian masalah lingkungan hidup akhirnya hanya menjadi lip service semata baik negara maju maupun negara berkembang, tanpa adanya realisasi nyata dalam mengatasi permasalahan ini





[1] Kemal Stamboel. 2009. Green Local Governance: Mewujudkan Tata Kelola Lingkungan Hidup yang Terdesentralisasi. Dalam www.kemalstamboel.com/blog.../green-local-governance-mewujudkan-tata-kelola-lingkungan-hidup-yang-terdesentralisasi.html akses tanggal 9 Juni 2009

Sumber Tulisan: http://krisna_indrawan-fisip11.web.unair.ac.id/artikel_detail-47510-Teori%20HI-Green%20Perspective.html

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar