Tidak ada yang
salah dengan perubahan, hanya saja mungkin kita kalah cepat dari mereka. Mereka
duluan sadar bahwasannya alam beserta isinya adalah hak setiap orang untuk
diapa-apakan (begitu menurut undang-undang kita konon katanya kini). Setiap
orang punya hak yang sama untuk mengelola sumber daya yang ada di alam ini.
Persoalannya cuma pada, ‘siapa cepat?’ tentu saja maka ‘dia dapat’. Jika semua
orang punya hak yang sama, maka yang membedakan antara masing-masingnya adalah,
inisiatif, kreatifitas, dan kecepatan dia mampu mengubah mimpinya/kehendaknya
menjadi kenyataan dalam konteks memberdayakan/memperdayakan alam. Bukankah itu
soalnya?
Demokrasi, tak
ada lagi tuhan, kepengurusan alam ini diserahkan sepenuhnya pada manusia.
Manusialah sebagai pusat, dialah satu-satunya penguasa di dunia ini. Alam
adalah objek yang mesti dimanipulasi, direkayasa, ditaklukan sedemikian rupa
hingga ia seturut dengan kita. Anthroposentris kita sering sebut ini zaman.
Fokus kita
bukan lagi pada bagaimana mengelola alam, agar seturut sebangun dengan kehendak
tuhan, yang semula kita anggap alam beserta isinya adalah titipan tuhan, yang
mesti kita jaga dan kita lestarikan sedemikian rupa. Kini, tak ada lagi tuhan
untuk urusan mengelola alam, tuhan telah kita kudeta dari singgasananya sebagai
penguasa alam. Sebab katanya, adanya tuhan malah menjadi penghambat kreatifitas
manusia.
Sudah, kita
tidak lagi bersaing dengan jin, setan, roh-roh penasaran penunggu; gunung,
pohon besar, mata air di kaki bukit dan lain-lainnya, yang sering
menakut-nakuti dan kita takuti saat hendak menguasai dan mengeksploitasi sumber
daya alam. Kini kita bersaing dengan sesama kita,yaitu manusia. Sebab tuannya
yang maha gaib sudah kita kudeta, tuhan.
Zaman itu telah
berlalu, zaman yang kerap kita sebut dengan Zaman Theosentris. Berbahagialah!
Inilah era di mana manusia sebagai pusatnya. Manusialah yang kini seolah-olah
menentukan segala-galanya, dalam urusan menggauli alam, tidak selainnya.
Implikasi dari
konsep diri macam itu, alih-alih melahirkan mentalitas bertanggung jawab
(seperti yang digadang-gadang Sartre, kebebasan atau ketiadaan tuhan membuat
manusia bertanggungjawab) justru malah sebaliknya. Terutama, pasca revolusi
industri, manusia jadi semakin eksploitatif terhadap lingkungan tempat ia tinggal,
seakan-akan tidak bakal muncul masalah kala lingkungan tempat ia tinggal hancur
luluh lantak, ditambang, misalnya. Foto di bawah ini kiranya cukup mampu
mengabarkan soal itu. Soal manusia yang abai terhadap lingkungan sekitarnya.
Sehingga melahirkan kerusakan-kerusakan kecil yang tidak mustahil berujung pada
bencana; longsor, kekeringan, polusi dll.
|
Gn. Pabeasan, Kp. Lempegan-Cidadap, Ds.
Padalarang (Foto: Yoga)
|
Sebut saja
kampung itu Pamucatan, satu daerah di mana Gn. Pabeasan dan Gn. Hawu bercokol,
pun penambangan. Baik penambangan yang berijin maupun yang tidak, beserta
pabriknya, yang terbesar bernama multi.
Pabrik Multi,
seperti yang terlihat di foto. Luasnya bertambah-tambah, tahun 2007 tepatnya
pabrik ini memperluas diri sampai tepat di bawah area panjat tebing (T. 125).
Pihak pabrik menyerobot tanpa tedeng aling-aling tanah yang semula adalah milik
desa yang diperuntukan buat lapangan sepak bola dan olahraga warga.
Tanah yang semula bukan milik pabrik tiba-tiba jadi milik pabrik. Telisik punya
telisik pihak pabrik membuat kesepakatan dengan pihak desa untuk mendapatkan
tanah tersebut.
|
Tebing 125, Dulu dan Sekarang (Karst
Citatah Pamucatan, Desa. Padalarang, Kab. Bandung Barat/Foto: Mamay Salim)
|
Bisa difahami, kenapa pihak pabrik ingin
memperluas wilayahnya. Bisnisnya makin maju, maka mau tidak mau, ia mesti
memperluas kawasannya. Alhasil, ruang publik (tanah desa untuk warga) jadi
ruang privat (milik pabrik). Di situ ada hak-hak warga pamucatan yang
direnggut. Kampung Pamucatan alhasil susah air, polusi udara terjadi di sekitar, juga polusi suara
(bising suara mesin pabrik), semua itu jadi kondisi yang melekat bersama kehidupan warga
Kampung Pamucatan. Ngerii.
Mudah-mudahan
barokah, bravo salam olahraga !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar